Beberapa hari setelah kayuhan pertama dini hari itu, foto sepeda ini kukirimkan ke sahabat onthel Indonesia, yakni pak Andre Koopmans. Sehari kemudian datang balasan yang mengatakan bahwa sepeda ini sangat langka. Konon di Belanda belum pernah dijumpai CCG rem botol dalam kondisi utuh dan berfungsi baik semua remnya. Dalam diskusi tentang rem botol CCG di situs ini beberapa waktu lalu, ontelis anggota PODJOK sempat menanyakan ke Jos tentang adakah sepeda CCG dengan opsi rem spesial BB itu, diperoleh jawaban dari Jos tidak ada. Sehingga kemunculan foto CCG rem botol dalam kondisi relatif utuh yang saya kirimkan ini tentu mengagetkannya. Pengakuan itu betul-betul membuat hatiku makin berbunga. Sebagai seorang pakar yang mempunyai pengamatan luar biasa, pak Koopmans menemukan bahwa spakbor depannya terlalu ‘cingkrang’ alias kurang panjang. Aku baru teringat punya simpanan spakbor depan kondisi utuh digudang loteng rumah, setelah via SMS berburu kesana kemari nggak menemukan.
Oleh ‘profesor’ Koopmans foto CCG 60 yang kukirim via email itu segera diteruskan ke Jos Rietveld, pakar Fongers dunia, walaupun pada hari yang sama secara khusus ia sudah kukirimi email tersendiri. Hampir senada dengan Koopmans, Jos juga menyatakan penghargaannya pada sepeda ini bahkan secara berlebihan dikatakan kalau sepeda ini mungkin hanya tersisa paling banyak 5 buah di dunia. Saya hanya tersenyum saja, sebab dari foto repro halaman The Seriegarantieboeken (buku catatan garansi) yang tersimpan di De Groninger Archieven (semacam perpustakaan) yang dikirimkannya tertulis bahwa ada banyak CCG seri lot 23 rem botol yang dikirimkan ke Indonesia melalui AJW ‘AVIS’ (sebagian besar) tujuan Surabaya bahkan ada pula yang ke Bandoeng (perhatikan lot ke 19, dan 24). Lihat foto tabel dibawah ini.
Foto Repro dari The Seriegarantieboeken (buku catatan garansi) yang tersimpan di De Groninger Archieven (semacam perpustakaan) tentang distribusi penjualan Fongers produksi tahun 1930
Pendapat Jos itu mungkin berdasarkan fenomena tiadanya keberadaan CCG rem botol yang kini ditemukan dalam kondisi masih berfungsi semua komponennya (terutama konstruksi rem botol yang mudah rusak itu). Namun saya yakin kalau masih ada cukup banyak CCG rem botol yang nanti bakal ditemukan dan menghiasi setiap event-event sepeda kuno tanah air, alias masih bisa berfungsi dengan baik komponen remnya. Tentu saja dengan sedikit sentuhan restorasi. Ini harapan saya setelah menerima banyak SMS dan email tentang penemuan CCG rem serupa diseluruh Indonesia oleh penggemar ontel, antara lain di Jogja, Palangkaraya, Manado, Ambon, Semarang, Tegal, bahkan Paciran Gresik. Jos pun mempertanyakan mengapa setang berwarna hitam sedangkan seharusnya krom mengkilap. Saya jelaskan bahwa itu karena selera pribadi yang berlebihan pada warna hitam. Diapun memaklumi hal itu.
Tampilan setelah diganti spakbor depan dengan yang berukuran normal, beberapa jam sebelum ditest drive oleh pak Rendra dari Paguyuban Karawang.
Panah merah dan biru muda pada frame dan tabel logbook sebagai indikator nomer braket, nomer frame dan data nomer distribusi penjualan Fongers pada logbook di arsip di Groningen Belanda. Perhatikan nomer-nomer yang sama antara yang diketrik pada frame sepeda dengan catatan tahun 1931 tersebut.
Pada gambar di atas terdapat nomer frame di bawah sadel (3023-44) yang merupakan deretan kode yang ternyata sama dengan data pengiriman pada The Seriegarantieboeken yang tersimpan di De Groninger Archieven tentang produksi Fongers. Perhatikan tanda panah warna merah pada gambar 1,2,3, dan 4. Angka 30 sebagai kode tahun pembuatan, sedangkan 23 adalah kode seri Fongers CCG, dan angka 44 adalah urutan (soort) jumlah sepeda CCG kode seri 23 yang diproduksi pada tahun 1930 (lihat tanda panah warna biru muda pada rangkaian kode pada nomer frame dan pada logbook). Deretan angka kedua terdapat pada bagian bawah braket, yakni 174344. Ini sebagai penanda urutan kode nomer produksi Fongers CCG sebagaimana data pada logbook (tanda panah merah). Nomer kode seperti ini menjadi ciri sistem administrasi penomoran Fongers yang sangat rigid, disiplin, dan teratur. Sebab yang tertulis di logbook adalah sama dengan nomer ketrikan pada frame. Tidak boleh melenceng atau bahkan keliru sama sekali. Hal ini sekarang memudahkan kita mengidentifikasi sepeda Fongers.
Fenomena ini sekaligus membuktikan pendapat pakar sepeda Belanda seperti Kuner, Jos, dan Koopmans dalam situs dan surat-suratnya bahwa Fongers di Belanda dianggap tidak hanya sekedar sepeda, namun adalah status, dan sistem. Fongers menjadi simbol status di Belanda, oleh karenanya dalam beberapa iklan dikatakan Fongers bukan sekedar ‘fiets’, namun adalah ‘rijwiel’. Baik ‘fiets’ maupun ‘rijwiel’ dalam bahasa Belanda artinya sama yakni sepeda, namun dalam penggunaannya berkaitan dengan konsep yang dibedakan. Fiets lebih bertendensi pada situsional casual sehari-hari, sedangkan rijwiel adalah sesuatu yang dikaitkan dengan persepsi pada kekhususan, istimewa, kelas tersendiri, aristokrat, dan mewah. Didukung pula foto-foto jadul yang sudah lebih dulu kita ketahui tentang keberadaan sepeda Fongers dalam lingkungan kerajaan Belanda (dipakai oleh ratu Juliana memboncengkan putri Beatrice), maupun presiden kebanggaan kita, bung Karno yang mempunyai koleksi sepeda Fongers disamping kendaraan-kendaraan kebanggaan beliau. Dari sekian bukti-bukti makin menegaskan bahwa Fongers is rijwiellen, not just fiets. Walaupun Fongers juga tidak lepas dari predikat peniru (atau bahasa halusnya) mengadaptasi Sunbeam produksi Inggris.
Dalam konteks nilai fungsi suatu barang yang digantikan dengan suatu wacana/hal yang lebih besar diluar barang tersebut dan menyangkut sistem, mungkin dapat dibandingkan dengan fenomena komputer di jaman sekarang ketika orang menyebut istilah Apple Machintos atau IBM yang tidak hanya sekedar komputer (tools) namun juga adalah sistem. Apa yang dilakukan Fongers ini juga tidak lepas berkenaan dengan pengorganisasian persepsi khalayak (audience) sebagai target market. Inilah hal spesifik dari produk Belanda yang menerapkan unsur-unsur yang ada dalam konsumen dan dikaitkan dengan produk sehingga menjadi kesatuan yang unik dari produk itu sebagai nilai jual, meminjam istilah di dunia Dr. Sahid dari PODJOK sebagai ‘Unique Selling Preposition’. Fongers adalah kelas tersendiri, alias berbeda dengan merek lain, jelas asal-usulnya karena sepeda tak hanya diproduksi, namun juga dicatat dan didata dengan baik dan terstruktur. Ibarat seorang anak manusia dengan akte kelahiran. Fongers di Belanda tak hanya sekedar barang yang berwujud sepeda, namun adalah pribadi dan sistem yang membuat sepeda menjadi produk yang berwibawa. Jika kemudian digemari di Indonesia pada jaman dahulu, ini juga tak lepas dari persepsi masyarakat kita yang menempatkan sesuatu tak hanya memiliki nilai fungsi saja, tapi juga dikaitkan dengan nilai gengsi. Apalagi pada jaman itu (1930) an sangat jelas dan tegas pembagian kelas strata masyarakat oleh karena sistem kolonialisme. Ada kelas istimewa yang terdiri dari ras kaukasia (bule), lalu bangsa timur asing lain (China dan Arab), baru kelas pribumi atau dalam bahasa ejekan disebut kaum inlander. Sikap mengaitkan antara barang dengan nilai gengsi dipelihara terus menerus sampai sekarang, dengan antara lain menekankan nilai fungsi psikologis (intangible) lebih diutamakan dibanding nilai fungsi guna barang asli (tangible). Contohnya, bila kamu pejabat atau orang kaya maka naiklah mobil berkelas macam Volvo atau Mercedes, bila kamu dosen atau guru maka naiklah sepeda pancal, kayak lagunya Iwan Fals ‘Oemar Bakri’. Mungkin inilah yang membuat pak Sahid, pak Sugeng Pakkar, atau saya lebih suka naik sepeda pancal daripada kendaraan bermotor. Seorang guru walaupun banyak dianggap ‘kaum sederhana’ namun memiliki proud/gengsi sebagai kaum intelektual (well educated people). Apalagi kalau sepedanya jenis premium, ….hahaha.
Dari logbook kiriman Jos Rietveld juga didapat informasi yang mencengangkan, antara lain bahwa sepeda CCG 60 3023-44 ini diekspor pada 31 Agustus 1931 ke Rijwielhandel (agen sepeda) J.J.W. Avis di Soerabaia (perhatikan foto repro The Seriegarantieboeken distribusi penjualan Fongers produksi tahun 1930).
Repro foto situasi agen sepeda Rijwielhandel Fongers JJW AVIS, di Soerabaia tahun 1930-an, oleh Jos Rietveld dari arsip Fongers di Groningen, Belanda.
Luar biasa! Dari foto yang dibuat sekitar tahun 1930-an itu terlihat jejeran sepeda Fongers yang mulus, kinclong, dan utuh! Saya yakin kalau ini terjadi di masa sekarang, dalam waktu kurang sejam sudah ludes diserbu maniak ontel kuno. Terlihat pula dua sepeda beban seperti gerobak dorong yang dilarang digunakan di Belanda pada akhir 1939-an juga dipajang (sebelah pojok kiri dan pojok kanan). Alangkah indahnya bila sekarang bisa terlacak dan diketemukan semua kendaraan gowes yang terdapat pada foto itu. Terlihat sepeda yang dipajang kebanyakan berukuran 55 dan 60 dan hanya sedikit sekali model dames. Hal ini juga mendukung data produksi sepeda Fongers pada situs Kuner, bahwa model frame dames lebih sedikit diproduksi dibanding model heeren. Itulah kenapa sekarang ini lebih sulit menemukan sepeda dames dibandingkan heeren. Menurut saya, ini juga berkaitan dengan konsepsi masyarakat saat itu bahwa sepeda hanya sebagai kendaraan lelaki saja. Sedikit sekali perempuan yang mempunyai ‘keberanian’ atau ‘kebiasaan’ naik sepeda pada era klasik yang sangat patrilinial. Konsep ini diimplementasikan pula pada model busana wanita yang didesain ‘cukup ribet’ dan menyulitkan jika dipakai naik sepeda (rok panjang dengan korset/long torso gaya gothic). Karena konsumen dan permintaan pasar sedikit, maka produk juga sedikit. Baru setelah PD-2 sampai tahun 1960an konsep-konsep tradisional patrilinial tersebut mulai bergeser, digugat, dan digantikan pemahaman yang modern (fungsionalisme) dan postmodern (fun) antara lain muncul salah satunya dengan pengakuan pada keberadaan perempuan sebagai subjek non substream seperti gerakan women lib atau kesetaraan gender.
Dari fenomena pengalaman teman-teman di Surabaya yang membandingkan kenyamanan antara sepeda jenis heeren dengan dames juga dicatat bahwa sepeda dames produk tahun 1920-1930 dianggap kurang nyaman karena jarak antara setang dengan sadel lebih pendek dibandingkan sepeda heeren. Namun menurut saya ini alasan psikologis yang muncul akibat pengaruh budaya jawa yang cenderung patrinilial. Pada masyarakat patriarkat seperti di Jawa, pria dianggap ‘kurang pria’ atau merasa ‘kurang mustahak’ bila menggunakan sepeda yang bukan peruntukan bagi gendernya. Sejak awal sepeda kan dibedakan menurut gender, maka ada sepeda pria dan sepeda wanita. Di Jawa pembagian jenis sepeda sangat dominan dipengaruhi faktor gender ini . Efek psikologis yang muncul berupa perasaan ‘ora ilok’ itu kemudian mempengaruhi pemikiran bawah sadarnya sehingga sepeda dames menjadi kurang acceptable karena dianggap bagian dari wanita. Sampai sekarangpun masyarakat Jawa Timur dan Surabaya khususnya penggemar sepeda kuno (yang kebanyakan pria) lebih cenderung pada sepeda model heeren dibanding dames loop frame dengan alasan utamanya kurang gagah yang kemudian berakibat munculnya beragam alasan lain seperti kurang nyaman. Saya pribadi (terlepas dari persoalan gender) merasakan bahwa kekurang-nyamanan sepeda dames adalah karena kebanyakan dames di Indonesia berukuran pendek (520-580mm) sebab menyesuaikan ukuran panjang kaki dan tinggi tubuh perempuan yang umumnya lebih pendek dari kebanyakan pria. Menjadi persoalan bagi saya yang berkaki panjang dan terbiasa nyaman memakai sepeda berukuran 620-680mm. Sepeda frame dames juga ‘kurang laku’ di Jatim, namun anehnya justeru tidak berlaku bagi masyarakat daerah Jogjakarta. Sepeda dames terutama produk era setelah Perang Dunia 2 (1948-1960) justeru lebih mahal harganya karena faktor multifungsi, sebab dari bapak, ibu, sampai remaja dan anak bisa menggunakannya, disamping konstruksi sudut frame yang dibuat berbeda dengan era 1920-1930an sehingga jelas lebih nyaman. Padahal kalau dianalisa dari sisi sosio-kulturnya, logikanya Jogjakarta adalah masyarakat yang tingkat kefeodalannya lebih tinggi (adanya kraton dan eksistensi Sultan), namun ternyata lebih bisa menerima sesuatu yang ‘tidak selaras’ dengan pemahaman gender pada konsep patriarkat dibandingkan masyarakat Surabaya khususnya dalam konteks dikotomi frame sepeda menurut gender. Ini sangat menarik untuk diteliti. Siapa tahu bisa untuk desertasi S3 nanti.
Kembali ke Fongers CCG 60, dalam logbook juga diketahui bahwa ternyata opsi rem botol (met gereg veloremmen) menjadi opsi pilihan alternatif disamping rem model lain (met gereg bandrem), ‘met afw rem’ dan tanpa rem (zonder handrem). Sayang sekali belum ditemukan data gambar bentuk model rem lain di luar rem botol yang berkode ‘4’ . Asumsinya apakah rem model lain itu adalah rem model kawat U ataukah model rem lain yang berbeda atau justeru khusus beredar di Belanda saja. Kata-kata yang mengasosiasikan ‘torpedo’ sebagai opsi rem sepertinya juga tidak diketemukan ddi opsi pilihan rem pada logbook itu. Kurang jelas apakah tahun segitu belum terdapat opsi torpedo (masih menggunakan model duurtrapp) ataukah menggunakan model rem torpedo namun disebut dengan istilah lain (Torpedo adalah merk dagang Jerman) untuk opsi sepeda zonder handrem, ataukah untuk pabrikan Fongers tidak terdapat opsi torpedo. Logikanya sepeda tidak mungkin laik jalan dan available dijual jika tidak terdapat instrumen rem. Belanda adalah negara dengan sistem sangat ketat terutama menyangkut kedisiplinan dan keselamatan. Setelah peraturan compulsary antara Belanda, Denmark dan Luxemburgh di tahun 1935 pengemudi sepeda dengan spakbor belakang tanpa cat putih saja dipenjara apalagi tanpa rem. Kecuali mungkin sepeda stuntman atau dibuat khusus untuk menghukum pesakitan misalnya dengan ditabrakkan ke objek lain seperti kereta api, tembok atau pagar jembatan atau diceburkan ke jurang, sebagai hukuman mati,…hahaha…
Mungkin ini akan menjadi diskusi selanjutnya dengan pak Jos Rietveld atau dengan pak Koopmans. Yang jelas sepeda menjadi sesuatu yang tidak hanya sekedar alat transportasi atau ekspresi kegilaan pada barang kuno, namun juga menarik untuk diteliti dan diungkap diskursus yang melingkupinya. Dan CCG ini tak hanya sangat nyaman dan enak dipancal namun juga menyimpan sejarah bangsa Indonesia, khususnya eksistensi sepeda kuno asal Belanda di Surabaya. Ironisnya, dibalik fenomena alegoris ini ada juga kenalan yakni seorang ‘kolekdol‘ lokal yang sinis dan nggak percaya bila sepeda pabrikan Fongers mempunyai catatan data lengkap semua produk termasuk yang didistribusikan ke Indonesia. Apalagi data ini dapat dilihat di arsip Fongers Groningen Belanda dengan mudah. Dia beralasan mana mungkin data dapat diorganisir dan nggak rusak dimakan usia. Hare genee masih percaya wangsit? hahaha…
Tamat.
(Andyt Andrian)
With thousands of thanks and be dedicated to our Fongers’s mentor Jos Rietveld for all datas and photos sharring on this article.
Recent Comments