CCG 60 itu ternyata ‘met gereg veloremmen ‘(bagian 2)

atas 

depanfin1

Beberapa hari setelah kayuhan pertama dini hari itu, foto sepeda ini kukirimkan ke sahabat onthel Indonesia,  yakni pak Andre Koopmans. Sehari kemudian datang balasan yang mengatakan bahwa sepeda ini sangat langka. Konon di Belanda belum pernah dijumpai CCG rem botol dalam kondisi utuh dan berfungsi baik semua remnya. Dalam diskusi tentang rem botol CCG di situs ini beberapa waktu lalu, ontelis anggota PODJOK sempat menanyakan ke Jos tentang adakah sepeda CCG dengan opsi rem spesial BB itu, diperoleh jawaban dari Jos tidak ada. Sehingga kemunculan foto CCG rem botol dalam kondisi relatif utuh yang saya kirimkan ini tentu mengagetkannya. Pengakuan itu betul-betul membuat hatiku makin berbunga. Sebagai seorang pakar yang mempunyai pengamatan luar biasa, pak Koopmans menemukan bahwa spakbor depannya terlalu ‘cingkrang’ alias kurang panjang. Aku baru teringat punya simpanan spakbor depan kondisi utuh digudang loteng rumah, setelah via SMS berburu kesana kemari nggak menemukan.

Oleh ‘profesor’ Koopmans foto CCG 60 yang kukirim via email itu segera diteruskan ke Jos Rietveld, pakar Fongers dunia, walaupun pada hari yang sama secara khusus ia sudah kukirimi email tersendiri. Hampir senada dengan Koopmans, Jos juga menyatakan penghargaannya pada sepeda ini bahkan secara berlebihan dikatakan kalau sepeda ini mungkin hanya tersisa paling banyak 5 buah di dunia. Saya hanya tersenyum saja, sebab dari foto repro halaman The Seriegarantieboeken (buku catatan garansi) yang tersimpan di De Groninger Archieven (semacam perpustakaan) yang dikirimkannya tertulis bahwa ada banyak CCG seri lot 23 rem botol yang dikirimkan ke Indonesia melalui AJW ‘AVIS’ (sebagian besar) tujuan Surabaya bahkan ada pula yang ke Bandoeng (perhatikan lot ke 19, dan 24). Lihat foto tabel dibawah ini.

logbook

Foto Repro dari The Seriegarantieboeken (buku catatan garansi) yang tersimpan di De Groninger Archieven (semacam perpustakaan) tentang distribusi penjualan Fongers produksi tahun 1930

Pendapat Jos itu mungkin berdasarkan fenomena tiadanya keberadaan CCG rem botol yang kini ditemukan dalam kondisi masih berfungsi semua komponennya (terutama konstruksi rem botol yang mudah rusak itu). Namun saya yakin kalau masih ada cukup banyak CCG rem botol yang nanti bakal ditemukan dan menghiasi setiap event-event sepeda kuno tanah air, alias masih bisa berfungsi dengan baik komponen remnya. Tentu saja dengan sedikit sentuhan restorasi. Ini harapan saya setelah menerima banyak SMS dan email tentang penemuan CCG rem serupa diseluruh Indonesia oleh penggemar ontel, antara lain di Jogja, Palangkaraya, Manado, Ambon, Semarang, Tegal, bahkan Paciran Gresik. Jos pun mempertanyakan mengapa setang berwarna hitam sedangkan seharusnya krom mengkilap. Saya jelaskan bahwa itu karena selera pribadi yang berlebihan pada warna hitam. Diapun memaklumi hal itu.

tampak-samping-2

Tampilan setelah diganti spakbor depan dengan yang berukuran normal, beberapa jam sebelum ditest drive oleh pak Rendra dari Paguyuban Karawang.

perbandingan-noframe-dgn-log-book

 Panah merah dan biru muda pada frame dan tabel logbook sebagai indikator nomer braket, nomer frame dan data nomer distribusi penjualan Fongers pada logbook di arsip di Groningen Belanda. Perhatikan nomer-nomer yang sama antara yang diketrik pada frame sepeda dengan catatan tahun 1931 tersebut.

Pada gambar di atas terdapat nomer frame di bawah sadel (3023-44) yang merupakan deretan kode yang ternyata sama dengan data pengiriman pada The Seriegarantieboeken yang tersimpan di De Groninger Archieven tentang produksi Fongers. Perhatikan tanda panah warna merah pada gambar 1,2,3, dan 4. Angka 30 sebagai kode tahun pembuatan, sedangkan 23 adalah kode seri Fongers CCG, dan angka 44 adalah urutan (soort) jumlah sepeda CCG kode seri 23 yang diproduksi pada tahun 1930 (lihat tanda panah warna biru muda pada rangkaian kode pada nomer frame dan pada logbook). Deretan angka kedua terdapat pada bagian bawah braket, yakni 174344. Ini sebagai penanda urutan kode nomer produksi Fongers CCG sebagaimana data pada logbook (tanda panah merah). Nomer kode seperti ini menjadi ciri sistem administrasi penomoran Fongers yang sangat rigid, disiplin, dan teratur. Sebab yang tertulis di logbook adalah sama dengan nomer ketrikan pada frame. Tidak boleh melenceng atau bahkan keliru sama sekali. Hal ini sekarang memudahkan kita mengidentifikasi sepeda Fongers.

Fenomena ini sekaligus membuktikan pendapat pakar sepeda Belanda seperti Kuner, Jos, dan Koopmans dalam situs dan surat-suratnya bahwa Fongers di Belanda dianggap tidak hanya sekedar sepeda, namun adalah status, dan sistem. Fongers menjadi simbol status di Belanda, oleh karenanya dalam beberapa iklan dikatakan Fongers bukan sekedar ‘fiets’, namun adalah ‘rijwiel’. Baik ‘fiets’ maupun ‘rijwiel’ dalam bahasa Belanda artinya sama yakni sepeda, namun dalam penggunaannya berkaitan dengan konsep yang dibedakan. Fiets lebih bertendensi pada situsional casual sehari-hari, sedangkan rijwiel adalah sesuatu yang dikaitkan dengan persepsi pada kekhususan, istimewa, kelas tersendiri, aristokrat, dan mewah. Didukung pula foto-foto jadul yang sudah lebih dulu kita ketahui tentang keberadaan sepeda Fongers dalam lingkungan kerajaan Belanda (dipakai oleh ratu Juliana memboncengkan putri Beatrice), maupun presiden kebanggaan kita, bung Karno yang mempunyai koleksi sepeda Fongers disamping kendaraan-kendaraan kebanggaan beliau. Dari sekian bukti-bukti makin menegaskan bahwa Fongers is rijwiellen, not just fiets. Walaupun Fongers juga tidak lepas dari predikat peniru (atau bahasa halusnya) mengadaptasi Sunbeam produksi Inggris.

Dalam konteks nilai fungsi suatu barang yang digantikan dengan suatu wacana/hal yang lebih besar diluar barang tersebut dan menyangkut sistem, mungkin dapat dibandingkan dengan fenomena komputer di jaman sekarang ketika orang menyebut istilah Apple Machintos atau IBM yang tidak hanya sekedar komputer (tools) namun juga adalah sistem. Apa yang dilakukan Fongers ini juga tidak lepas berkenaan dengan pengorganisasian persepsi khalayak (audience) sebagai target market. Inilah hal spesifik dari produk Belanda yang menerapkan unsur-unsur yang ada dalam konsumen dan dikaitkan dengan produk sehingga menjadi kesatuan yang unik dari produk itu sebagai nilai jual, meminjam istilah di dunia Dr. Sahid dari PODJOK sebagai ‘Unique Selling Preposition’. Fongers adalah kelas tersendiri, alias berbeda dengan merek lain, jelas asal-usulnya karena sepeda tak hanya diproduksi, namun juga dicatat dan didata dengan baik dan terstruktur. Ibarat seorang anak manusia dengan akte kelahiran. Fongers di Belanda tak hanya sekedar barang yang berwujud sepeda, namun adalah pribadi dan sistem yang membuat sepeda menjadi produk yang berwibawa. Jika kemudian digemari di Indonesia pada jaman dahulu, ini juga tak lepas dari persepsi masyarakat kita yang menempatkan sesuatu tak hanya memiliki nilai fungsi saja, tapi juga dikaitkan dengan nilai gengsi. Apalagi pada jaman itu (1930) an sangat jelas dan tegas pembagian kelas strata masyarakat oleh karena sistem kolonialisme. Ada kelas istimewa yang terdiri dari ras kaukasia (bule), lalu bangsa timur asing lain (China dan Arab), baru kelas pribumi atau dalam bahasa ejekan disebut kaum inlander. Sikap mengaitkan antara barang dengan nilai gengsi dipelihara terus menerus sampai sekarang, dengan antara lain menekankan nilai fungsi psikologis (intangible) lebih diutamakan dibanding nilai fungsi guna barang asli (tangible). Contohnya, bila kamu pejabat atau orang kaya maka naiklah mobil berkelas macam Volvo atau Mercedes, bila kamu dosen atau guru maka naiklah sepeda pancal, kayak lagunya Iwan Fals ‘Oemar Bakri’. Mungkin inilah yang membuat pak Sahid, pak Sugeng Pakkar, atau saya lebih suka naik sepeda pancal daripada kendaraan bermotor. Seorang guru walaupun banyak dianggap ‘kaum sederhana’ namun memiliki proud/gengsi sebagai kaum intelektual (well educated people). Apalagi kalau sepedanya jenis premium, ….hahaha.

Dari logbook kiriman Jos Rietveld juga didapat informasi yang mencengangkan, antara lain bahwa sepeda CCG 60 3023-44 ini diekspor pada 31 Agustus 1931 ke  Rijwielhandel (agen sepeda) J.J.W. Avis di Soerabaia (perhatikan foto repro The Seriegarantieboeken distribusi penjualan Fongers produksi tahun 1930).

p1010883

Repro foto situasi agen sepeda Rijwielhandel  Fongers JJW AVIS, di Soerabaia tahun 1930-an, oleh Jos Rietveld dari arsip Fongers di Groningen, Belanda.

Luar biasa! Dari foto yang dibuat sekitar tahun 1930-an itu terlihat jejeran sepeda Fongers yang mulus, kinclong, dan utuh! Saya yakin kalau ini terjadi di masa sekarang, dalam waktu kurang sejam sudah ludes diserbu maniak ontel kuno. Terlihat pula dua sepeda beban seperti gerobak dorong yang dilarang digunakan di Belanda pada akhir 1939-an juga dipajang (sebelah pojok kiri dan pojok kanan). Alangkah indahnya bila sekarang bisa terlacak dan diketemukan semua kendaraan gowes yang terdapat pada foto itu. Terlihat sepeda yang dipajang kebanyakan berukuran 55 dan 60 dan hanya sedikit sekali model dames. Hal ini juga mendukung data produksi sepeda Fongers pada situs Kuner, bahwa model frame dames lebih sedikit diproduksi dibanding model heeren. Itulah kenapa sekarang ini lebih sulit menemukan sepeda dames dibandingkan heeren. Menurut saya, ini juga berkaitan dengan konsepsi masyarakat saat itu bahwa sepeda hanya sebagai kendaraan lelaki saja. Sedikit sekali perempuan yang mempunyai ‘keberanian’ atau ‘kebiasaan’ naik sepeda pada era klasik yang sangat patrilinial. Konsep ini diimplementasikan pula pada model busana wanita yang didesain ‘cukup ribet’ dan menyulitkan jika dipakai naik sepeda (rok panjang dengan korset/long torso gaya gothic). Karena konsumen dan permintaan pasar sedikit, maka produk juga sedikit. Baru setelah PD-2  sampai tahun 1960an konsep-konsep tradisional patrilinial tersebut mulai bergeser, digugat, dan  digantikan pemahaman yang modern (fungsionalisme) dan postmodern (fun) antara lain muncul salah satunya dengan pengakuan pada keberadaan perempuan sebagai subjek non substream seperti gerakan women lib atau kesetaraan gender.

Dari fenomena pengalaman teman-teman di Surabaya yang membandingkan kenyamanan antara sepeda jenis heeren dengan dames juga dicatat bahwa sepeda dames produk tahun 1920-1930  dianggap kurang nyaman karena jarak antara setang dengan sadel lebih pendek dibandingkan sepeda heeren. Namun menurut saya ini alasan psikologis yang muncul akibat pengaruh budaya jawa yang cenderung patrinilial. Pada masyarakat patriarkat seperti di Jawa, pria dianggap ‘kurang pria’ atau merasa ‘kurang mustahak’ bila menggunakan sepeda yang bukan peruntukan bagi gendernya. Sejak  awal sepeda kan dibedakan menurut gender, maka ada sepeda pria dan sepeda wanita. Di Jawa pembagian jenis sepeda sangat dominan dipengaruhi faktor gender ini . Efek psikologis yang muncul berupa perasaan ‘ora ilok’ itu kemudian mempengaruhi pemikiran bawah sadarnya sehingga sepeda dames menjadi kurang acceptable karena dianggap bagian dari wanita. Sampai sekarangpun masyarakat Jawa Timur dan Surabaya khususnya penggemar sepeda kuno (yang kebanyakan pria) lebih cenderung pada sepeda model heeren dibanding dames loop frame dengan alasan utamanya kurang gagah yang kemudian berakibat munculnya beragam alasan lain seperti kurang nyaman. Saya pribadi (terlepas dari persoalan gender) merasakan bahwa kekurang-nyamanan sepeda dames adalah karena kebanyakan dames di Indonesia berukuran pendek (520-580mm) sebab menyesuaikan ukuran panjang kaki dan tinggi tubuh perempuan yang umumnya lebih pendek dari kebanyakan pria. Menjadi persoalan bagi saya yang berkaki panjang dan terbiasa nyaman memakai sepeda berukuran 620-680mm. Sepeda frame dames juga ‘kurang laku’ di Jatim, namun anehnya justeru tidak berlaku bagi masyarakat daerah Jogjakarta. Sepeda dames terutama produk era setelah Perang Dunia 2 (1948-1960) justeru lebih mahal harganya karena faktor multifungsi, sebab dari bapak, ibu, sampai remaja dan anak bisa menggunakannya, disamping konstruksi sudut frame yang dibuat berbeda dengan era 1920-1930an sehingga jelas lebih nyaman. Padahal kalau dianalisa dari sisi sosio-kulturnya, logikanya Jogjakarta adalah masyarakat yang tingkat kefeodalannya lebih tinggi (adanya kraton dan eksistensi Sultan), namun ternyata lebih bisa menerima sesuatu yang ‘tidak selaras’ dengan pemahaman gender pada konsep patriarkat dibandingkan masyarakat Surabaya khususnya dalam konteks dikotomi frame sepeda menurut gender. Ini sangat menarik untuk diteliti. Siapa tahu bisa untuk desertasi S3 nanti.

Kembali ke Fongers CCG 60, dalam logbook juga diketahui bahwa ternyata opsi rem botol (met gereg veloremmen) menjadi opsi pilihan alternatif disamping rem model lain (met gereg bandrem), ‘met afw rem’ dan tanpa rem (zonder handrem). Sayang sekali belum ditemukan data gambar bentuk model rem lain di luar rem botol yang berkode ‘4’ . Asumsinya apakah rem model lain itu adalah rem model kawat U ataukah model rem lain yang berbeda atau justeru khusus beredar di Belanda saja. Kata-kata yang mengasosiasikan ‘torpedo’ sebagai opsi rem sepertinya juga tidak diketemukan ddi opsi pilihan rem pada logbook itu. Kurang jelas apakah tahun segitu belum terdapat opsi torpedo (masih menggunakan model duurtrapp) ataukah menggunakan model rem torpedo namun disebut dengan istilah lain (Torpedo adalah merk dagang Jerman) untuk opsi sepeda zonder handrem, ataukah untuk pabrikan Fongers tidak terdapat opsi torpedo. Logikanya sepeda tidak mungkin laik jalan dan available dijual jika tidak terdapat instrumen rem. Belanda adalah negara dengan sistem sangat ketat terutama menyangkut kedisiplinan dan keselamatan. Setelah peraturan compulsary antara Belanda, Denmark dan Luxemburgh di tahun 1935 pengemudi sepeda dengan spakbor belakang tanpa cat putih saja dipenjara apalagi tanpa rem. Kecuali mungkin sepeda stuntman atau dibuat khusus untuk menghukum pesakitan misalnya dengan ditabrakkan ke objek lain seperti kereta api, tembok atau pagar jembatan atau diceburkan ke jurang, sebagai hukuman mati,…hahaha…

Mungkin ini akan menjadi diskusi selanjutnya dengan pak Jos Rietveld atau dengan pak Koopmans. Yang jelas sepeda menjadi sesuatu yang tidak hanya sekedar alat transportasi atau ekspresi kegilaan pada barang kuno, namun juga menarik untuk diteliti dan diungkap diskursus yang melingkupinya. Dan CCG ini tak hanya sangat nyaman dan enak dipancal namun juga menyimpan sejarah bangsa Indonesia, khususnya eksistensi sepeda kuno asal Belanda di Surabaya. Ironisnya, dibalik fenomena alegoris ini ada juga kenalan yakni seorang ‘kolekdol‘ lokal yang sinis dan nggak percaya bila sepeda pabrikan Fongers mempunyai catatan data  lengkap semua produk termasuk yang didistribusikan ke Indonesia. Apalagi  data ini dapat dilihat di arsip Fongers Groningen Belanda dengan mudah. Dia beralasan mana mungkin data dapat diorganisir dan nggak rusak dimakan usia. Hare genee masih percaya wangsit? hahaha…

Tamat.

(Andyt Andrian)

With thousands of thanks and be dedicated to our Fongers’s mentor Jos Rietveld for all datas and photos sharring on this article.

Fongers 1930 CCG 60 3023-44 ‘speciaal bandrem’ (1)

tampak-samping-kiri2 tampak-samping-kanan

Tampak samping, perhatikan katengkas ‘FONGERS’

 ccg60-rem-botol

Asli rem botol asli!

nomer-frame1

3023-44, aslinya setang ini krom namun dipowder coating black, soalnya pemilik menyukai warna hitam.

Siang itu ada SMS masuk dari pak Manu ke HP-ku, bunyinya “pak Andyt apakah ada Fongers COG 60 menggunakan rem botol”. Kujawab cepat-cepat bahwa yang benar CCG bukan COG, kemungkinan CCG rem botol ada sangat besar, walaupun aku belum pernah melihatnya. Aku teringat cerita di Wiwinaked minggu-minggu sebelumnya bahwa di Jogja pernah dijumpai CCG dengan rem yang selama ini dianggap hanya opsi Fongers BB. Penasaran pengin melihatnya, kutancap Jupiter MX berboncengan dengan pak Manu, tak kuperdulikan mendung pekat menggayut langit Surabaya. Ternyata tujuannya adalah gudang yang sama tempat ditemukan BB60 dan Cycloide Elite setahun lalu. Saya berharap menemukan harta karun lagi, dan semoga memang benar CCG 60 rem botol asli, bukan bongkaran dari BB60 atau jejadian iseng. Kondisi gudang yang cukup gelap dan pengap membuat kurang bisa dikenali apakah sepeda ini CCG atau bukan. Untunglah si penjaga gudang mempunyai senter dan segera kurebut dari tangannya. Pak Manu sempat berujar: “sabar bos, sampeyan kalau lihat Simplex atau Fongers langsung napsu”. Maklum aku penasaran banget belum pernah menemukan CCG dengan opsi rem legendaris itu. Ternyata benar sepeda Fongers CCG ukuran 60 dengan rem botol orisinil asli bawaannya. Terlihat dari bentuk garpu depan-belakang dan supitannya khas sekali berbeda bukan duplikasi BB, sebab bentuk semua komponen itu berbeda dengan BB, namun garpu-supitan lebih mirip seri H dibanding BB, yakni tempat dudukan as roda di ujung bawah kaki-kaki garpunya berlobang seperti huruf ‘O’ bukan seperti huruf ‘C’ tengkurap. Sedangkan persamaan dengan model rem kawat U adalah adanya kawat transmisi rem yang naik-turun-naik beserta komponen-komponen dudukan engsel cantolan transmisi rem itu. Persamaannya dengan BB rem botol ada di cenilan dudukan rem botol pada bagian dekat ujung atas garpu dan model ‘tapal kuda fleksibel’ sebagai setutan pada karet rem botolnya. Kuseret sepeda itu keluar gudang, kedua rodanya nyaris tak bergerak. Tebalnya karat bertahun membuat as dan bos depan lengket total. Alamak…buatan tahun 1930! seruku tercekat ketika melihat deretan angka 3023-44 di sock bawah sadel. Kuamati lekat-lekat bagai mengamati gadis cantik. Deras hujan cepat sekali membasahi punggung, namun tak kuhiraukan. Aku bayangkan batukku pasti kumat lagi bila kena dingin dan isteriku pasti ngomel-ngomel lagi. Ah, biarin saja..soal itu urusan nanti.

 transmisi-rem-depantransmisi-rem-belakang

Setutan rem asli yang masih berfungsi seperti ini sepertinya amat langka

Yang penting CCG 60 rem botol yang amat langka ditemukan dalam kondisi nyaris utuh di Surabaya! Kecuali sudah dicat ulang yang (lagi-lagi) jelek banget dan keluar dari pakemnya. Kondisi yang paling memprihatinkan barangkali hanya di setang dan rem botolnya. Bentuk setang sekilas agak mirip BB60 (yang dilelang di Jogja dengan baut ada di bagian bawah setang -bukan dibelakang- yang kini dikoleksi pak Rendra Karawang). Tersisa hanya satu rem botol menempel di garpu belakang kiri. Rem yang lain raib entah kemana.. Lega hatiku ketika penjaga gudang itu mengatakan kalau rem-rem yang lain ada di tukang reparasi, tinggal masang, katanya lagi. Beres pikirku, namun nanti dulu…sepeda ini kan milik pak Manu? Wah semangat ku jadi kendor lagi…Iya kalau sahabatku itu merelakan sepeda ranking kedua pada strata produk Fongers era 1922-1940 ini untuk aku. Bagaimana kalau dia akan pakai sendiri? Benar juga, pak Manu rupanya tertarik. Maklum kami berdua termasuk anggota SIMNGERS alias ‘hanya bernafsu pada Simplex dan Fongers saja’. Jadi rasanya nggak pantas kalau sekarang aku ngotot merebutnya. Wajar kalau tertarik, soalnya dia juga tahu kalau CCG rem botol ini varian super langka.

 perbandingan-front-hubs

Perbandingan front-hubs  antara BB (kiri) dengan CCG (kanan)

perbandingan-rear-hubs

Perbandingan rear-hubs antara BB (kiri) dengan CCG (kanan). Pada CCG mirip dengan seri H.

Namun anehnya sepeda itu tidak segera dibawanya pulang. Bahkan Rp.200.000 sebagai tanda jadipun diambil dari dompetku. Sepanjang perjalanan pulang kami tak banyak bicara, kecuali aku mulai batuk-batuk akibat dingin hujan deras menerpa. Sial, sepeda tak di dapat malah batuk yang kumat. Malam itu dan dua malam berikutnya menjadi ‘malam jahanam’ sebab aku tak dapat tidur nyenyak karena kepikiran sepeda ini terus. Untungnya malam itu mr.T jadi teman diskusi yang menyenangkan. Di hari ketiga aku di SMS pak Manu kalau sepeda sudah berada dirumahnya. Untungnya Jurusan DKV masih libur sehingga aku bisa sewaktu-waktu keluar kampus. Setelah lebih dari sejam kuperhatikan di bawah terik matahari siang, mulai terbayang kesulitan merenovasi sepeda ini. Dari 4 rem botolnya ternyata hanya 3 yang ada, itupun 2 tanpa pegas dan penutup. Kami saling terdiam dan kemudian mendiskusikan kesulitan yang bakal menerpa. Intinya saat itu adalah pesimis. Namun anehnya hasratku untuk memperbaiki dan merestorasi bukannya surut….malah makin menggebu. Gejolak hasrat seperti ini belum tentu muncul dalam setiap proyek restorasi. Kuhitung hanya muncul ketika merenovasi Cycloide Elite, Cycloide Kruisframe, Luxe 680, dan BB60 saja, yang lain nggak. Rupanya sejak awal pak Manu kurang tertarik sebab dia masih punya tanggungan merenovasi BB65, dan 3 HZ yang tak kunjung usai. Oleh karenanya segera mempersilahkan aku memilikinya. Sahabatku itu berjanji akan membantuku merenovasi. Sepeda ini kubopong kerumah hari Sabtu Wage jam 15.30 dengan dibonceng karyawannya, sebab kedua rodanya tetap tak mau digerakkan. Saat itu hujan cukup deras. Sesuai dengan ramalan Mr.T di SMS tiga hari lalu. Pasti akulah pemilik sepeda nantinya. Segera aku membuat draf skenario restorasi, pertama dari setang, lalu sistem roda, rem botol dan jalur remnya, serta terakhir cat, strip, dan transfer merk. Menurut perhitunganku restorasi memakan waktu 3 bulan bila lancar. Tim yang membantuku mereparasi BB60 setahun lalu kukontak lagi dan mereka dengan antusias berkenan membantu. Mas Towil Podjok yang ku SMS bersedia mencarikan gantinya ketika setang Fongers koleksinya keberatan kulamar. Malah pelek Kronprinz istimewa koleksinya ditawarkan sayangnya tak terjangkau. Tampaknya aku harus menabung dulu. Demam sepeda kuno 3 tahun terakhir ini makin menyulitkan pencarian onderdil. Dari diskusi dengan Jos Ritveld, dan mempelajari foto-foto koleksi sepeda yang dikirimkan pakar Fongers tingkat dunia maupun dari situsnya itu kuperoleh informasi bahwa konstruksi jalur rem CCG tidak jauh berbeda dengan BB dan HZ produksi tahun yang sama. Bersyukurlah, salah seorang rekanan dari Bangil berhasil mengatasi kesulitanku dengan menghibahkan instrumen tube jalur rem persis seperti kiriman foto Jos. Luar biasa! orisinil lagi…diberikan untukku setelah puluhan tahun disimpannya. Rem botol belakang kanan kudapatkan dari upaya replika pak Manu dengan mesin bubutnya. Tak hanya itu saja, aku juga menemukan 2 pegas dan tutup rem botol saat bongkar-bongkar kardus di bengkelnya. Rupanya sisa ketika mereparasi BB65-nya dulu. Semua hanya minta dibarter sepasang pedal Weco Germany. Padahal saya pernah menolong penggemar Fongers BB dari Surabaya membuatkan satu rem botol di tukang bubut kenalan kami di daerah Gembongan, saat itu dikenakan biaya Rp.400.000 per biji. Tak salah kalau mahal sebab konstruksinya njlimet, kecil, dan memerlukan ketelitian dan presisi yang sangat tinggi. Selisih 0.25mm saja sudah nggak bisa. Rasanya nggak sabar melihat bagaimana pak Manu bekerja menduplikasi tabung rem botol itu. Sangat njimet, lama dan telaten..dikit-dikit diambilnya Mitutoya untuk memastikan kerigidan presisi. Mata bornya saja Sandvick, bukan buatan Jerman apalagi Tiongkok. Setang di powder coating gratis di bengkel pak Bejo –tetanggaku teman mancing kakap- di Buduran (jasa industri powder coatingnya terbaik se Jawa Timur). Roda dibenahi di bengkel pak No Nuri. Konstruksi as, kones, mur kontrak, piringan, yang ternyata masih asli tetap dipertahankan, hanya ganti peloran Germany dan stemvet Top One setelah sebelumnya setengah botol WD-40 kuhabiskan buat melepas as dan bos roda yang melekat berkarat. Pelek depan belakang melekat KronPrinz lobang 36, berarti sepeda ini dulu bukan spek untuk angkut berbagasi atau berboncengan sebagaimana Fongers yang kerap ditemukan dengan spek lobang 40. Karet rem dan rem botol kali ini kukerjakan sendiri berdasarkan pengalaman reparasi BB tahun lalu. Karet rem (rubber-pad) kuambilkan dari rem karet yang dijual sekarang. Tinggal menyesuaikan ukurannya. Kugunakan lem kampas kopling/rem mobil kuno untuk melekatkannya. Ban dalam kugunakan IRC kiriman kang Tatank PSB Bandung. Ban luar Schwalbe silver kudapat dari link mas Johannes Podjok dua tahun lalu. Rantai menggunakan Union Germany, kiriman sahabat terbaik ontel anggota PSB tersebut setahun lalu. Spakboar depan bawah keropos sangat parah sehingga dipotong 1,5 cm lebih dan tampak agak ‘cingkrang’ sebab tiadanya spakbor ekstra buat penyambungnya. Cat kuoplos antara Danagloss Extreem solid black dengan satu merk kurang terkenal yang biasa dipakai mengecat kapal di Sidoarjo. Begitu pula tiner A Special cap Bintang dan produk lokal Sidoarjo untuk memberikan campuran efek kilau, hitam dan keras agar tidak mudah terkelupas. Epoxy Danagloss kupakai sebagai lapisan cat dasar. Dibantu kompresor Sagola 777 (12 psi) dan airbrush Badger USA medium, dan tak lupa penutup hidung. Hujan yang turun tiap hari menyebabkan proses pengecatan molor dari waktu yang seharusnya. 4 hari baru selesai. Padahal seharusnya 2 hari. Sehari epoxy sehari cat. Ekstra dua hari untuk compound. Strip menggunakan cat Nippe oplosan warna hijau, kuning, dan putih untuk menghasilkan warna hijau tosca khas Fongers. Finishing memakai compund halus untuk memberi efek aus pada stripnya. Selama itu rumah kami menjadi berbau serasa bengkel cat. Anehnya, batukku malah sembuh kena uap tiner dan cat oplosan.

rem-botol-satu-ini-yang-replika

Hanya rem botol satu ini yang replika, namun dudukannya asli.

Ada cerita lucu ketika mahasiswi datang kerumah untuk bimbingan skripsi di saat aku lagi ngecat spakbor. Aku nggak PEDE nemuin si cantik berbibir gemas dalam kondisi kumel begini, untungnya ia tidak mengenaliku dan ngeloyor pulang lagi, pangling dengan wajahku yang berpenutup hidung ala dokter gigi. Esoknya dia bilang kalau kerumah tapi nggak ketemu, hanya ada tukang lagi ngecat, baunya menyengat sekali….Hahaha. Dua hari lamanya aku merakitnya kembali. Paling lama di setting kayuhan dan rantai, agar tercapai hasil maksimal. Jam 23.03 selesai dirakit, tongkrongannya serba hitam, berkilau dan gagah sekali. Mirip sekali dengan The Royal Sunbeam 1920. Seketika malam itu kupancal, luar biasa! Sangat nyaman, enteng dan nyaris tanpa suara. Kombinasi gear 48 piringan ‘obat nyamuk’ dengan The British Villier 20 memang sangat nyaman di jalanan Surabaya yang datar. Saya bilang kalau kenyamanannya setara dengan Cycloide yang all bearings! Namun saya yakin makin lama akan makin nyaman lagi, sebab komponen sudah mapan dan fix.

bersama-pak-manu1

Mejeng dengan BB dan pak Manu.

Sepeda pancal biasanya akan makin nyaman bila semakin sering dipakai. CCG rem botol ini senyaman Cycloide, begitulah pengakuan  rekan-rekan Paguyuban Pakkar Sidoarjo yang sudah merasakan. Salah satu indikator sepeda yang nyaman adalah kesempurnaan settingan pada hubs roda (as, bos, kones, gotri, mangkokan) terutama di roda belakang. Ada semacam test kecil untuk menguji ini. Pertama, pastikan dulu kondisi roda tidak oblak semilipun, lalu atur roda sedemikian rupa sehingga bagian pentil ban belakang terletak di bagian atas. Kedua, angkatlah bagian belakang sepeda sehingga roda menggantung bebas atau terbebas dari jejakan bumi, jika menggunakan standar/jagrag ganda akan lebih mudah. Ketiga, tanpa dikayuh atau diputar roda/rotel kayuhannya amatilah apakah roda akan bergerak sendiri sehingga bagian pentil turun. Hitunglah berapa kali bagian pentil bolak-balik naik turun. Jika lebih dari 2 kali, maka as dan bos roda sudah terpasang sempurna. Inilah yang disebut less friction, dan menjadi kontributor utama kenyamanan sepeda. Jika belum, maka ada yang salah dengan settingan roda atau komponen pada hubs-nya. CCG ini mampu 4 kali naik-turun! Less friction untuk sepeda dengan konstruksi free-wheel (rem karet) dan torpedo memang lebih bagus dibanding rem tromol. Sekali membalik saja sudah bagus. Kalau pada Simplex Cycloide less friction juga dihasilkan dari as kayuhan (braket) akibat kinerja bearing.  (Bersambung)….

Minggu Depan, komentar Jos Rietveld, Andre Koopmans, dan foto repro dari The Seriegarantieboeken yang tersimpan di De Groninger Archieven (semacam perpustakaan) Fongers Groningen tentang data penjualan Fongers CCG 3023-44 kepada NV. AJW Avis, Soerabaia, 31 Agustus 1931

Untuk kali yang ketiga ini kuperoleh sepeda super dari pak Manu (Simplex Priessterijwiel, BB60, dan CCG60). Terimakasih pak Ndeh, cak Jun, pak No Nuri, mas Ndut Gondrong, cak Sahroni, cak Ali Jombang, mas Towil Podjok, kang Godam PSB atas ‘sumbangan’ transfer mereknya….dan last but not least, kang Tatank PSB bagi masukan dan supportnya sehingga terwujud rindu dendam CCG rem botol ini. Bagi rekan-rekan yang mempunyai CCG/BB atau varian lain Fongers orisinil rem botol (?) dan berkeinginan melakukan proses restorasi seperti ini atau memerlukan saran/diskusi/supervisi berkenaan dengan itu, silakan..GRATIS. Hubungi via email: andrian@peter.petra.ac.id atau add: di http://www.facebook.com, atau kopi darat di markas Paguyuban Kereta Angin Rewwin (PAKKAR) tiap Sabtu pagi 07.00-10.00. Mohon maaf diluar jalur itu tidak disediakan. 

Artikel dan Foto : Andyt Andrian Nikon D-200, Lensa VR 28-120 (3.5-5.6)

FONGERS HZ65 2222-81 (1922)

Sepeda jangkung ini lebih dahulu kumiliki dibandingkan Fongers BB 303-2 yang sudah ku-upload kemarin. Asal sepeda ini dari toko pak Yudi Marcopolo. Konon banyak kolektor yang memburunya, namun dasar jodoh jadilah ini salah satu sepeda kesayanganku. Awalnya saya menyangsikan spakbor depan tanpa potongan sebagaimana gambar Fongers produksi 1922 di buku katalog kiriman Herbert Kuner. Namun ternyata diralat olehnya bahwa foto sepeda Fongers di buku itu buatan tahun 1918 bukan 1922. Spakbor yang utuh menandai produksi Fongers seri awal tahun 1922. Diterangkan oleh Jos Rietveld, sang ahli Fongers dunia, bahwa Fongers 2222-81 ini menjadi sepeda ke 81 yang diproduksi di tahun 1922, maka jelas sekali spakbor sudah nggak model potongan lagi. Saya tetap pengin memotong slebor itu, namun ditentang oleh profesor Andre Koopmans. Dibilangnya, jangan latah seperti orang Belanda yang suka memanipulasi sepeda agar tampak lebih tua dari usia sebenarnya. Dikatakannya lagi, orang yang sejatinya tahu tentang Fongers akan tertawa jikalau ada sepeda produksi tahun 1922 namun spakbornya dipotong. Saya ngalah. Lagian pak Yudi juga bilang kalau sepeda ini sejak dulu kondisinya seperti ini. Kata petinggi PODJOK itu, sepeda ini dulu punya kerabat kraton. Pemiliknya nggak peduli dengan kondisi sepedanya, karena sudah tiga tahun sepeda ini dibiarkan tergeletak di tritisan rumah, kena panas, hujan, bahkan gempa! Ketika proses tawar-menawar sepeda ini, pemilik yang merupakan generasi ketiga si pembeli pertama (ketika baru dulu) juga nggak peduli seolah nggak berniat menjual. Angkuh sekali kesannya. Maklumlah tipikal priyayi tradisional. Karena keuletan dan sikap pantang menyerah pak Yudi maka sepeda ini berhasil diboyong ke ruang pamer Marcopolo.

Saya kesengsem ketika melihat sepeda ini pertama kali di toko Marcopolo. Berkali kucoba menaiki keliling jalan Sosrowijayan. Sangat enak, empuk dan lewat pantulan kaca etalase kulirik diriku yang sedang mengayuh ini tampak tinggi sekali kayak Belanda aja. Isteriku yang kuajak langsung memberi dukungan untuk segera memboyong sepeda ini. Proses itu secara nggak langsung disaksikan oleh mas Aris dan genk PASTOP-nya, yang gresek boncengan Pathfinder-nya di toko itu. Udah deh…. berita Andyt melamar Fongers tinggi pak Yudi langsung nyebar. Beberapa menit kemudian humas KOBA -mas Laexs- juga menelepon memberikan ucapan selamat atas transaksi itu.

 

Ban hitam-kuning kemudian kupasang menggantikan ban putih reguler merek Deli Tire yang melekat sejak dari toko Marcopolo, ceritanya begini: Karena tetap nekad tertarik pada spakbor pendek penanda Fongers lama, kayak yang nempel di sepeda Fongers BB65  koleksi Pandu, salah seorang anggota PAKKAR Rewwin yang dikayuh di reli bersamaku, maka sepulang dari reli sepeda Sidoarjo itu aku lantas berniat memotong spakbor Fongersku ini. Biasalah, seperti kata pepatah: rumput di halaman tetangga selalu tampak lebih hijau sehingga sepeda teman selalu nampak lebih indah dibanding milik sendiri. Selepas aku berguman sendiri kalau akan kupotong slebornya sesampai dirumah nanti, seketika itu juga terdengar bunyi “DOOR..!!” cukup keras. Alamak..banku ternyata gembos. Terkosek-kosek aku menjaga keseimbangan dan untungnya nggak jatuh. Ketika dibawah, kaget aku ternyata gembos dua-duanya sekaligus. Kompak banget, dan aneh pikirku. Kalau hanya satu ban belakang aku maklum, namun ini ban depan juga. Bingung aku karena tiba-tiba harus menuntun sepeda, mana rumah masih 5 km lagi jauhnya. Di pinggir jalan aku menunggu mobil pick-up atau Angguna (mobil moda angkut barang dan penumpang sekaligus khas Surabaya) yang biasanya lalu-lalang, ternyata tak ada. Aku coba telepon mobil pick-up langgananku kalau aku membawa sepeda, ternyata tak ada semua, padahal 3 alternatif tempat persewaan. Gile bener! Setelah berjalan sekitar 15 menitan ada sebuah bengkel sepeda. Sampai di sana, pak bengkel bilang kalau ban luar-dalam depan-belakang semua pecah. Dia heran kenapa bisa seperti itu. Alhasil dia lalu menyerah tanpa mencoba. Kupikir karena bentuk garpu yang berlobang tanpa coakan, sehingga dia membayangkan kesulitan mencopot rodanya.

 

Akhirnya terpaksa aku tuntun sepeda ini sampai rumah. Capek banget, mana pulang dari reli yang dikayuh pergi-pulang. Dari rumah ke lokasi kumpul peserta reli sekitar 14km, pulang pergi dikurangi 5 km, jadi 23 km, plus reli keliling kota Sidoarjo sekitar 25-30 km, jadi sudah lebih 50 km. Masih bonus menuntun sepeda 5 km, pula. Malamnya aku berfikir ini pasti semacam ‘ungkapan protes’ dari sepeda sebagai reaksi rencanaku memotong spakbornya. Maklum sepeda mantan punya orang dalam benteng kraton pasti juga punya ‘yoni’. Wah jika aku tetap memotongnya, bisa-bisa kualat aku. Semenjak itu kubiarkan apa adanya. Bahkan ban juga tidak segera kuganti. Menunggu hari baik. Suatu ketika di hari Rebo Legi  baru aku berani  mengganti ban. Lebih dahulu ‘minta ijin’ ke sepeda itu, dan semua proses pergantian ban kulakukan sendiri. Selain kuganti bannya, Fongers ini juga diberi transfer merek dan setrip hijau khas Fongers. Juga di lain hari Rebo Legi.

 

Barangkali yang istimewa dari sepeda ini adalah konstruksi rem Fongers varian lama yang masih orisinil. Ungkapan pujian dari profesor Koopmans di balasan surat saya beberapa sat setelah aku mendapatkan sepeda ini. Ciri khas dia selalu spontan emosinya jika melihat sepeda dalam kondisi bagus. Dia juga mengharapkan barangkali aku bisa menjiplak konstruksi rem ini untuk dipasang di Fongers BB 1908 miliknya. Namun rasanya nggak PEDE deh. Menjiplak berarti harus membongkar sepeda ini lagi. Aku takut sepeda ini rusak atau berulah lagi.

 

 

Fongers ‘Ie Soort C’ HZ65 2222-81 (1922) dengan opsi persneling SA tahun 1920-an.

 

Fongers ‘Ie Soort C’ HZ65 2222-81 (1922) tampak kanan

 

Garpu depan dan Belakang, bentuknya berbeda dengan model garpu BB. Garpu depan berlobang tanpa cowakan dari bawah, sehingga cukup menyulitkan apabila akan melepas as roda. Perhatikan gambar kanan, tuas setelan rantai juga berbeda dengan BB apalagi dengan sepeda reguler.

 

Konstruksi rem depan model rem Fongers edisi lama. Konstruksi rem ini juga dipakai oleh varian BB, CCG, HH, dan H produksi sebelum tahun 1930. Gambar tengah terdapat tuas untuk mengatur setelan tekanan rem jika setang akan dinaikkan atau diturunkan.

 

Nomer seri dan konstruksi kawat jalur rem. Perhatikan bentuk konstruksi rem belakang. Pada gambar tengah terdapat tuas pengatur tekanan karet rem pada pelek. Semua konstruksi ini masih orisinil dari aslinya. Kecuali karet rem (warna putih) berasal dari model yang lebih baru (1950).

 

Gambar atas adalah setang BB, perbedaan hanya terletak pada ujung tuas rem. Ujung varian tuas rem BB mengecil (dibawah tekukan setang) lalu membesar lagi sepanjang pegangan setir. Sementara model setang HZ (bawah) tidak terdapat gaya seperti itu. Baik ukuran, bentuk, volume pipa, panjang setang ataupun ketrikan tulisan FONGERS sama antara BB dengan HZ. Piringan dan rotel sama antara BB dengan HZ. Perhatikan kelingan di piringan. Kelingan itu menggunakan baut dibagian dalam. Konstruksi yang ruwet, sebanding dengan harganya yang lebih mahal dibanding sepeda lain pada umumnya di jamannya.

 

 

Foto & Sepeda : Andyt Andrian

Fongers BB60 303-2 (1930) ‘Rem Botol’

Karena banyak permintaan akan gambar atau foto Fongers BB dan konstruksi rem botolnya, maka sepeda ini diupload. Tampilan foto kali ini menunjukkan tuntasnya seluruh rangkaian proyek renovasi yang melelahkan. Keberadaan Fongers BB rem langka ini berawal dari penemuan di gudang loak, yang dimahar hanya Rp. 2,5 juta. Setelah setahun proses renovasi yang melelahkan, penuh perjuangan, emosi, peluh, tangan terluka kena gerinda, mendadak batuk akibat banyak menghirup tiner selama proses cat, konsultasi cerewet ke Koopmans dan Jos Rietveld selaku master Fongers. Harus berbagi waktu dengan ujian thesis. Maka berakhirlah setelah hampir setahun sejak ditemukannya. Proses diawali dengan merangkai kembali rem botol yang amburadul. Berbekal gambar detail resolusi tinggi kiriman profesor Koopmans, disusul proses konsultasi Jos Rietveld maka hal itu menjadi mudah. Dibantu pengelasan oleh cak Ndeh, dan pak Asmanu. Ketika ditemukan sudah cat ulang tapi amat jelek, oleh karenanya  perlu dicat ulang lagi. Semua dilakukan sendiri! Mengoplos epoxy hitam, lalu Danagloss Solid Black dengan tiner A Special Bintang dengan tiga layer campuran berbeda. Dibantu kompresor Sagola 777 dan Badger USA Airbrush Kit ukuran medium. Finishing dan setrip garis hijau khas Fongers goresan sendiri hasil berguru dari almarhum pak Andy Tanudjaja eks Bengkel Kapasan 15. Setelah itu proses merakit yang lagi-lagi juga dilakukan sendiri. Kali ini nggak ngrepoti pak Makmun, namun cukup konsultasi via telepon berkali-kali.

Transfer merk Fongers ‘Ie Soort A’ bantuan Kang Tatank, bel BB (Burberry England) yang nyaring banget mengingatkan pada lezatnya gado-gado Bandung bersamanya di hujan siang hari April 2008. Jagrak samping KOBA Jepang tetap kupasang karena mengingatkan sahabat-sahabat ontel Bunderan HI. Sadel kerangka Lepalusil original dibekleid ulang oleh cak Ali, Jombang. Untung sampeyan nggak kenal Ryan, cak! Orient ‘pakjesdrager”, ukuran 26 yang dipasang, sebab kalau ukuran 24 terlalu mepet dengan slebor. Kunci HOPMI jomplang tutup budi baik pak Yudi Marcopolo, as belakang sumbangan mas Faj. Tabung pipa rem yang gresek di gudang pak Mulyadi Loebis, Panjunan Sidoarjo. Niko membantu di lampu reflektor. Wis pokoke gotong royong! Last but not lease, pinjaman lampu lentera yang dicopot dari Simplex Cycloide Dames seri 1 punya isteriku. Katanya biar tambah ganteng difoto, sembari menunggu ditemukan lampu dan dinamo FG. Pelan-pelan sajalah nyarinya sebab barang langka. Nabung dan sabarlah dulu.

Jadilah sepeda ini berdiri dan serasa mengendarai Fongers BB baru di tahun 1930an. Soal kenyamanan, beberapa rekan PASOMO Mojokerto, PASKAS dan Sepeda Tua Lamongan malah mengatakan lebih enak dari Cycloide. Hanya saya kurang sepakat dengan mereka. Maklum tak bisa pindah kelain hati selain Simplex. Banyak rekan telah berpartisipasi pada pembangunan sepeda ini, oleh karenanya tidak berlebihan bila sepeda ini adalah hasil kolaborasi karena munculnya situs Wiwinaked. Luar biasa! Maka silakan konstruksi rem pada sepeda ini menjadi acuan jikalau ada rekan-rekan yang ingin membangun/merestorasi ulang koleksi BB rem botol yang mangkrak. Sebab pembuatan rem ternyata tidak sesulit yang dibayangkan. Bahkan teknisinya pak Sugeng Priyanto dedengkot PAKKAR Rewwin konon juga sudah mampu mengatasinya, karena sekarang sedang proses restorasi Fongers BB65 1923! Gile beneer. Kata komunitas Oudefietsen, paling tua Fongers BB rem botol adalah tahun 1934, itu sepeda dikoleksi Jos Rietveld. Kalau gitu tuaan yang di Indonesia, donk.

Nah, lo, siapa bilang sepeda tua Belanda langka hanya ada di negara asalnya saja.

 

Restorasi, Foto & Sepeda : Andyt Andrian

A ton of thanks especially to Jos Rietveld for a rare Fongers braking construction photoes sharring and to ‘professor’ Andre Koopmans for all suggests during a restoration project. Thanks for shore, as you said. Keep helping us!

 

Tampak  Samping . Kelihatan sekali konstruksi diamond frame era tahun 1930-an yang pendek jarak setang ke sadel, tapi ukuran frame tinggi.Nyaman bagi pengendara dengan panjang kaki minimal 65 cm.

Konstruksi transmisi dan kawat rem botol yang konon gampang rusak.

Konstruksi dari depan.Cincin di leher setang sebagai ‘brake pad’ agar setang besi                 tidak mudah aus terkena roda baja kawat rem.

Konstruksi rem belakang. Gambar kanan nampak tuas untuk memutar setelan jarak karet rem dengan pelek.

Ciri khas supitan Fongers BB (gambar kiri) berfungsi untuk setelan tegangan rantai. Konon komponen ini juga cukup fragile, sehingga sering dijumpai Fongers BB yang supitannya sudah gantian. Bagasi model “pakjesdrager”, dengan 4 dudukan di sisinya. Buatan sebelum 1940, kata pak Koopmans.

The one of Dutch beautifully aristocrat bicycle.

Indah dipandang enak dikayuh, nyaman dikeloni.

 

 

Sepeda Tinggi yang Tidak Diketahui

Seorang teman bernama Ichwan dari BOM Samarinda mempunyai sepeda yang belum teridentifikasi. Melalui situs ini dia ingin membagi kebingungannya, siapa tahu mendapat pencerahan terutama bantuan untuk menganalisa sepeda yang baru didapatkannya itu. Sepeda ini memakai transfer merk, tapi bikin dia bingung adalah transfer merk yang berbeda-beda, yg didepan sepertinya punya hercules, tapi yg di pangkal fork seperti punya Royal, lagi pula ada tulisan Royal Deluxe di bagian pipa miring.

Dia juga bingung, sebab kata temennya Royal ada yg buatan Jepang dan Jerman, namun kata temen beda lagi menemukan transfer merek Royal made in England yang persis kayak sisa tranfer di pangkal fork sepeda ini. Diyakini bahwa sepedanya produk Belanda, dilihat dari bentuk frame yg miring, keyakinan itu ditambah lagi dengan bos depan Union dan bos belakang Torpedo buatan tahun 1951. Dia senang sepeda ini karena ukurannya yg 26″ (650 cm), dan sudah dicek pipa dibawah sadel gak ada sambungan, jadi bukan hasil sambungan.

Nah pertanyaannya adalah:
1. Royal itu buatan mana ya?
2. Secara bentuk frame, sepeda ini keluaran Belanda atau Inggris?
3. Bagaimana cara mengidentifikasi sepeda ukuran 26 ini  apakah hasil modifikasi atau asli?
4. Kira2 berdasarkan gambar dan nomor serinya, ini sepeda apa ya?

Mari para pemerhati sepeda untuk memberikan komentarnya, agar sodara kita ini tidak lagi kebingungan.
 
 
 

 

 

 

 

22.24.26=52.55.60.62

1f21_4.jpg

Fongers HZ750 mm koleksi Andre Koopmans

Sepeda yang tingginya diatas ukuran 60, kini menjadi barang buruan baru. Berbagai alasan yang melatarbelakangi perburuan ini, salah satunya adalah penampilan. Sepeda ukuran tinggi memang  kelihatan stands out bila disandingkan dengan sepeda berukuran normal. Fenomena mengkoleksi sepeda tinggi tak hanya dilakukan oleh mereka yang mempunyai tinggi badan mendukung untuk mengayuh pedalnya, namun juga dikalangan penggemar yang mempunyai tinggi badan tidak mendukung. Alasan penampilan yang gagah dan kokoh mendasari mereka untuk mengkoleksinya. Sepeda memang tak harus dinaiki, namun menjadi pajangan dan hiasan ruangan yang unik dan indah dipandang. Banyak yang merasa pulih batinnya setelah penat menerpa seharian bekerja dengan mengamat-amati sepedanya. Terlebih lagi apabila didukung dengan tata cahaya lampu yang memadai. 

1929-gazelle-xframe.jpg

Gazelle xframe 1929 ukuran 650 koleksi Andre Koopmans

beside-fongers.jpg

Fongers HZ65 1922 ukuran 65 koleksi Andrian Hagijanto

Ukuran sepeda di Indonesia menggunakan 2 pengertian, yakni mengacu pada panjang pipa tube depan dan frame dibawah sadel. Penyebutan ukuran tinggi sepeda selalu dikaitkan dengan dengan nomor yang menujukkan panjang pipa frame dari atas (dibawah sadel) sampai bawah (bracket tempat as kayuhan). Oleh karena itu sepeda disebut berukuran 65 adalah sepeda dengan panjang pipa 650 mm. Sistem ini digunakan oleh Fongers, Gazelle dan beberapa sepeda buatan Inggris seperti trio populer Inggris yakni Humber, Raleigh, dan Rudge. Sedangkan untuk Simplex memakai angka 68 untuk sepeda yang ukurannya 65 menurut kaidah Fongers. Yakni panjang dari ujung pipa bawah sadel sampai titik tengah bracket. Dengan kata lain, 680mm total panjang pipa ditambah panjang pipa sock pada bracket adalah sama dengan 650mm hanya panjang pipa saja.  

 dsc_0049.JPG

 St. Etienne, France 1940 ukuran 550 koleksi H. A. Munief  (Pakkar)

Beberapa daerah di Jawa Tengah menyebutnya dengan ukuran yang merujuk pada panjang tube depan, sehingga muncul istilah ukuran 22,24, dan 26. Ukuran tube depan 22cm, maka pipa frame biasanya 550/580mm, sedangkan 24 (600/620mm), dan 26 (650/680mm). Walau beberapa sepeda jenis frame dames menggunakan ukuran yang lebih pendek, yakni 500/520mm, dan menggunakan panjang tube yang kurang dari 22, namun tetap memakai istilah ukuran 22.  Beberapa negara di Eropa menggunakan ukuran yang mengacu pada besarnya ban yang digunakan, sehingga muncul istilah 28″ (untuk ukuran sepeda kebo), lalu 26″ (untuk sepeda tanggung, di sini dikenal dengan ukuran seperti sepeda jengki Phoenix), lalu 24″, 20″ sampai 18″ untuk sepeda mini.  Sepeda dianggap tinggi oleh ukuran Indonesia adalah 60cm (600/620mm), walaupun kenyataannya ada beberapa sepeda dengan tinggi diatas 620, yakni 680 (65). Walaupun di negara aslinya, hampir semua sepeda Belanda, Inggris dan  Jerman mempunyai ukuran di atas 680, seperti contohnya Gazelle 720mm, atau Fongers CCG dengan ukuran 750mm! (Andyt Dyoda)

One For All, All For One

 andrian1.jpg

rebutan Simplex

Meniru salah satu tugas mahasiswa di matakuliah Eksperimental Fotografi di Semester 4 S-1 Jurusan DKV UK Petra, di mana aku menjadi bagian di dalamnya.  Multiexposes Digital Imaging, judulnya. Yakni memotret satu objek yang berpindah pada latar belakang statis untuk kemudian digabungkan dalam Photoshop. Bermodal Nikon D70S, Velbon tripot, Metz 3BCT-4mecablits dan jemari isteri, maka lahirlah multi ekpose ini. Cukup untuk mengekspresikan bagaimana ‘gila’nya Andyt dengan sosok bernama ontel ini.

Dibantu kang Tatank, seorang ahli dibidang sistem (yang tak mengakui dan selalu merendah, bhahahahaha….mentang-mentang ukuran 580, kali…).

Maka foto ini menjadi sajian sela diskusi tentang ontel -kebanggaan dan kesayangan kita-

gek op fietsen (Gila Ontel)

satu1.jpg 

 Rally tujuhbelasan tahun 2005 di Sidoarjo Lebih dari 5000 sepeda!!

Nederlandse fietsen worden vooral in Nederland verzameld. In andere landen komt misschien een enkel exemplaar als exoot in een verzameling terecht, maar meer niet – op één uitzondering na: Indonesië. Zijn er dan veel Indonesiërs die dit stukje koloniaal erfgoed koesteren, en wat is er eigenlijk nog van over? Sinds een jar heb ik via e-mail contact met Andrian Dektisa uit Soerabaja, en hij schetst een interessant beeld van de situatie onder Indonesische fietsenverzamelaars. Andrian is ## jaar oud en sinds ## jaar met oude fietsen bezig. Hoewel er vroeger ook veel Engelse en Duitse fietsen naar Indonesië werden geëxporteerd, richt zich de interesse van Andrian vooral op de Nederlandse merken. Zijn verzameling bestaat uit ## voornamelijk vooroorlogse Nederlandse fietsen van Simplex, Fongers en Gazelle. Zoals bekend is er in Nederland precies één club van fietsenverzamelaars met zo’n 400 aangesloten leden. Dat ligt in Indonesië geheel anders. Volgens Andrian zijn er alleen al in Soerabaja ongeveer 100 clubs waarvan de leden in totaal meer dan 5.000 oude fietsen in hun bezit hebben. Het zal duidelijk zijn dat een Indonesische club niet te vergelijken is met De Oude Fiets, en wat de fietsen betreft heb ik mijn twijfels of deze in Nederland allemaal als oud en verzamelwaardig zouden worden beschouwd.   Iedereen die wil richt in Indonesië een eigen club op en verzint daarvoor een naam die met gezondheid, gezamelijkheid, patriotisme of natuurlijk antieke fietsen te maken heeft. Zo bestaat Andrians club uit in totaal vier personen (inclusief zijn vrouw) en heet hij “Gila ontel – de beste oude fietsen van Delta Puspa”. Gila ontel is Indonesisch voor “gek op fietsen”. Zoals te verwachten zijn Gazelle (als het meest voorkomende merk), Simplex, Fongers en Burgers de bekendste Nederlandse fietsmerken in Indonesië, maar je komt er ook fietsen van Batavus, Pon, Union, Locomotief, Magneet enzovoort tegen. Toch valt het aantal overgebleven Nederlandse fietsen en onderdelen tegen. Voor de oorlog gingen er jaarlijks tienduizenden tweewielers vanuit hier naar Oost-Indië, maar nu is het vrij lastig om daar een Simplex of Fongers in originele staat terug te brengen. Het ontbreekt aan onderdelen en ook aan de kennis welke onderdelen bij welk model horen. Volgens Andrian zijn er maar weinig verzamelaars die de moeite nemen om een Nederlandse fiets van authentiek Nederlandse onderdelen te voorzien, zoals een Hopmi-slot en een Propeller-bagagedrager. Andere verzamelaars beperken zich in zo’n geval tenminste nog tot Europese (Engelse, Duitse, Franse) onderdelen, maar de grootste groep gebruikt gewoon wat hij of zijn kan vinden, inclusief Chinese of Japanse naven, zadels of verlichting, als de fiets maar rijdbaar en compleet is en ouderwets uitziet. Soms gaat het zelfs zo ver dat nep-oude onderdelen door de verzamelaar zelf van een imitatiemerk worden voorzien. Zo lees je dan op een Chinese bagagedrager ineens de naam Hopmi – of Hoppmi, Hompi of Hopsmi, zoals Andrian opmerkt. 

 mijnfongers1.jpg

 De Fongers-herenfiets van omstreeks 1920 uit Andrians collectie.

Een voorbeeld van onderdelenmix uit vermoedelijk veel vroegere tijden is de Fongers-herenfiets van omstreeks 1920 uit Andrians collectie. De fiets werd enkele jaren geleden door een gespecialiseerde restaurateur uit Soerabaya gerestaureerd en van oude transfers voorzien. Het meest opvallende detail van deze fiets is de geveerde voorvork met het merk “Ideal” erop. Uit navraag bij kenners in Duitsland bleek dat het om een Duitse vork uit de jaren dertig tot vijftig gaat die meestal op tandems of hulpmotorfietsen werd gemonteerd. Omdat het originele achterwiel ontbrak monteerde Andrian een achterwiel met F&S Komet-naaf uit 1940 in zijn Fongers. Enerzijds door gebrek aan beter, maar anderzijds ook omdat elke fiets zijn individuele karakter heeft, zoals Indonesische fietsenliefhebbers het volgens Andrian zien. Wat de waardering betreft staan Nederlandse fietsen en onderdelen in Indonesië het hoogst in koers. Engelse of Duitse merken zijn duidelijk goedkoper. Andrians Simplex Neo is even veel waard als drie of vier Humbers of Raleighs van vergelijkbare leeftijd en staat. Voor zijn Simplex Cycloïde kruisframe wilde ooit zelfs iemand 25 miljoen rupiahs bieden (2.150 euro). 

 dscn3715.jpg

‘Simplex’ Kruisframe met ‘cobra lamp’

Fietsen verzamelen hoeft geen dure hobby te zijn, maar je kunt het er wel naar maken, ook in Indonesië. Een geliefd object bij verzamelaars met geld en vooral zulke die met hun verzameling willen pronken, is een bepaald model koplamp van de Duitse fabrikant Melas die in Indonesië de naam “cobra lamp” draagt. De montage van zo’n lamp brengt hetzelfde euvel met zich mee als bijvoorbeeld de Berini-hulpmotor: je moet er eerst het oude voorspatbord voor afzagen. Andrian kan weinig begrip opbrengen voor zulke historische vervalsingen omwille van een opgekrikt verzamelaars-ego. En de prijs van zo’n flitsende lamp? 5 miljoen rupiahs, dus 430 euro. 

Article: Herbert Kuner, Foto’s: Andyt

SIMPLEX ‘Glider’ SWEEFITS

sweefits4.gif 

 Brosur Simplex Sweeft Glider tahun 1953.

Ini barangkali varian terakhir yang palingmahal dibanding yang pernah dibuat oleh Simplex. Sepeda ini dibuat hanya 1000 buah dan berharga lebih dari 230 gulden tahun 1953 (bandingkan dengan harga Cycloide Kruisframe yang hanya 190 Gulden ditahun yang sama). Didesain oleh W. van Tooren, dan dijual ke Simplex dengan harga paten desain yang sangat tinggi pada tahun 1953, namun hanya diproduksi sampai tahun 1954 karena konstruksi yang fragile, dan kenyamanan yang kurang ergonomis. Bila dikayuh pada jalan yang rata, konstruksi per pada sadel dan per daun pada frame sangat memberikan kenyamanan, namun bila pada jalan yang naik, kamu akan terdorong turun, demikian sebaliknya kalau direm, pengemudi akan terdorong naik. Sehingga posisi kaki tidak statis dan ini memberikan kontribusi pada ketidaknyamanan disaat dikendarai.

dsc_0003.jpg 

 Koleksi Kapt. (Mar) Happy Johannes, Sidoarjo (torpedo sistem)

Pada beberapa kasus terjadi keretakan pada ujung hulu pipa, selain harga jual yang tinggi dan kurang nyaman pada saat dikendarai. Sehingga membuat Simplex Zweefits ini tidak banyak diproduksi (konon hanya 1000 buah) sepanjang tahun 1953-1954. sepeda ini dilempar ke pasaran dengan dua model, yakni coaster brake model, (torpedo) dan  fitted with cable-operated drum brakes (tromol dengan transmisi rem kabel). Setang sepeda mirip PFG atau model pelayaran (istilah orang Surabaya) atau orang Kebumen menyebut setang model kalong). Menurut pengamatan saya, terdapat dua sepeda ini (satu di Sidoarjo) kepunyaan pak Kapten (Mar) Happy Johannes, dan satu lagi kepunyaan kolektor sepeda di Semarang dengan kondisi yang cukup bagus. Menurut penilaian saya, bentuk dan konstruksi sepeda ini sangat cantik. Barangkali kelemahan itu ditutup dengan bentuk desain dan kelangkaannya mengingat hanya 1000 buah tentu saja menjadi salah satu dari kolektor item.

 sweefits1.jpg

Koleksi Herbert Kuner (model tromol dan transmisi rem kabel).

 dsc_0011.jpg

 Konstruksi frame ruwet yg fragile itu

Andyt Dyoda

with many thanks to Herbert Kuner for the photo, broscure and datas.

Fongers HZ 1934 “dubbeldekker”

1f21_4.jpg 

FONGERS HZ 750 mm

Ada sepeda Fongers HZ 1934 “dubbeldekker”ukuran 750mm, punya meneer Andre Koopman. Dia suka sekali dengan sepeda ini. Namanya Fongers ‘Double Dekker’. Sangat tinggi dan modelnya seperti sepeda sirkus, mengingatkan pada Kamell di situsnya Herbert Kuner (www.rijwiel.net). Kalau ada di Indonesia kira-kira harus pakai punggung orang buat nahan kaki kalau berhenti, atau model dinaiki dengan memasukkan badan diantara dua frame, kayak jaman kecil kita dulu naik sepeda kebo.

Sepeda ini cuman ada dua di sana. Perhatikan sadelnya, dia bilang ini  namanya “KLM zweefzadel”, dengan menggunakan 3 Torpedo with pedal-back-brake and Torpedo shifter tube horizontal, torsion front suspension and “Vredestein” tyres (spekbanden), semua suku cadang asli original Fongers tahun 1934…Ruaaaar biasa!!!

Orang Belanda kira ini dibuat dari dua sepeda yang dipotong dan dijadikan satu pada bagian atasnya, tapi bukan, ini sepeda asli begini!!!!

kecuali orang Sidoarjo mau bikin, hahaha… 
 


Blog Stats

  • 167,067 hits

Top Clicks

  • None